Wujud Akulturasi Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Indonesia
Pengertian Akulturasi:
Akulturasi adalah fenomena yang
timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara
langsung dan terus-menerus; yang kemudian
menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya (Harsoyo).
Lebih jelasnya dapat dilihat pada : http://togapardede.wordpress.com/2013/02/20/wujud-akulturasi-kebudayaan-hindu-budha-dengan-kebudayaan-indonesia/
“Wujud Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia”
Budaya Nusantara sebelum Islam datang
Sebelum
Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa,
organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di
Nusantara yang berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh
sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan
Hindu Budha yang berkembang lebih dulu daripada Islam.
Seperti
halnya kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan
lebih maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan.
Alasannya karena daerah pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan
pusat perdagangan. Penduduk pesisir tekena percampuran budaya
(akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara tidak langsung,
dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi
mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang
dari Arab, Persia, China, India dan Eropa.
Berbeda
dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup (konservatif) dari budaya
luar. Sehingga mereka lebih condong pada kebudayaan nenek moyang mereka
dan sulit menerima kebudayaan dari luar. Awalnya Islam masuk dari
pesisir kemudian menuju daerah pedalaman. Masuknya Islam masih sudah
terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis,
diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu
terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh
Hindu dari India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo,
Bone dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya
pengaruh Hindu. Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih
berdasarkan tradisi nenek moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.
Hindu
Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke
Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada
waktu itu dengan berbagai alasan. Pertama, situasi politik dan ekonomi
kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami kemunduran. Hal
ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara, termasuk
Nusantara.
Penyebab akulturasi budaya Nusantara dengan nilai-nilai Islam
Akibat
dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati pesisir yang
meklakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan akhirnya mereka
menjadi penerima Agama Islam. Situasi politik seperti itu mempengaruhi
masuknya Islam ke Nusantara lebih mudah. Karena kekacauan politik,
mengakibatkan kacauan pada budaya dan tradisi masyarakat. Kedua,
kekacauan budaya ini digunakan oleh mubaligh-mubaligh dan pedagang
muslim yang sudah mukim untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu
melalui perkawinan. Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada
keturunan arab atau India. Misalnya di Surakarta terdapat perkampungan
Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung Arab).
Setelah
masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran islam mulai
berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan
peran Walisongo di Jawa. Bukti bahwa ajaran islam sudah dikerjakan
masyarakat Nusantara. Di kota-kota besar dan kecil yang sudah islam,
terdapat bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk berjamaah. Hal itu
merupakan bukti budaya yang telah berkembang di nusantara.
Kesejahteraan
dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan
perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan
tradisi Nusantara atau Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin
terelakkan setelah terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus
komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar
dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan
momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan
atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan
politik” di kemudian hari.
Tiga
daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat
(India), dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya
Islam Nusantara semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan
al-Malik bagi raja kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan
gelar sultan-sultan Mesir yang memegang madzhab syafi’iah, gaya batu
nisan menunjukkan pengaruh budaya India, sedangkan tradisi syuroan
menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia yang syi’ah. Budaya Islam
Nusantara memiliki warna pelangi.
Di
saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan
sosiologis terhadap komunitas Nusantara dan mendapatkan respon yang
cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa
kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai
candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang
selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh
daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati,
Yuwana, Jepara, dan Kudus
mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur.
Dengan
basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden
Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan
kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik”
hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan
antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan
“warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya
Hindu-Budhis yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau
mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan
keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan
dalam karya sastra Jawa yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang
kuat.
Islam
yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia
dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan
Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim
Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki
kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus
masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai budaya lama dalam bentuk baru
yang labih halus dan berkualitas.
Asimilasi
budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian
keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam
dalam great tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat
memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan
dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti
yang memberikan apresiasi positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk
artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam
di wilayah lain.
Untuk
itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam memahami dan
menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan
memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses
penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian
seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau yang mengikuti tarekat
Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain
sebagainya.
Persinggungan
Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana
(Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong
cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi
keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan
menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu.
Penolakan
raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah
masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan
kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama
daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan
sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan
dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap
akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering
disebut adalah Sunan Kalijaga.
Demoralisasi
yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim,
lewat beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok
yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeri pertanian yang amat
produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para
dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati
bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif
tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti
kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh
juga terhadap perilaku penduduknya. Pandangan serupa juga dikemukakan
oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada
pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap
pembentukan watak atau karakter penduduknya.
Faktor
fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya. Begitu juga
letak geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan
mempengaruhi seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun yang
ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga
strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan
efektif.
Akulturasi
dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran
mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama
Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di
daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik
sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen
dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep
pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para santri yang
mengenyam pendidikan Islam lebih murni.
Pengaruh nilai-nilai Islam dalam budaya Nusantara
Sejak
awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi
budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma
aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila
dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu
diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai
realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering
disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau
local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang
“Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi
besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau
setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran
dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi
keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan
pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut
dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi
kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence-
kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition).
Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam
pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta
tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam
istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini
kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu
kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif
terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan
baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa
pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik
antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi
unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai
suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia,
ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah
Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis
hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini
kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya
local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara
slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban
(nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti
dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional
suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak
menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu
memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang
seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa.
Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf
tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya
local.
Pada
sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat
dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang,
berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan
ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh”
fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan
paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun
sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid
Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan
arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara
berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.
Dalam
perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten,
Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri
dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton
yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan
Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai
pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan
di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi
juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain
Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis
dan sebagainya.
Dalam
bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap
memberikan perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para
penguasa muslim di Banten misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi
yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan mengizinkan
pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan
adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten.
Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar
belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat
beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan
lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di
berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa
Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda
keyakinan.
Aspek
akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya
Sunda adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni
beluk sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan
sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni
beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan
dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia
yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa
disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya
memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan
syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau
tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar
nasional.
Akulturasi
Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di
Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera
Barat, Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah
lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara
lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar,
dan Marpangirhttp://togapardede.wordpress.com/2013/09/18/wujud-akulturasi-kebudayaan-islam-dan-kebudayaan-indonesia-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar