Home Facebook Daftar Nilai Animasi Kupu-kupu terbang


Welcome To My Blog Friend...My blog name is jennixiips2.blogspot.com

Selasa, 06 Mei 2014

Kerajaan-Kerajaan Islam  di Indonesia



1.     Kesultanan Perlak, Samudera Pasai, dan Aceh


Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang terbaru dapat
diketahui bahwa kesultanan Islam tertua di Indonesia adalah
Kerajaan Perlak. Beberapa bukti sejarah itu adalah naskahnaskah
tua berbahasa Melayu, seperti Idharatul Haq fi
Mamlakatil Ferlah Wal Fasi, Kitab Tazkirah Thabakat Jumu
Sultan As Salathin, dan Silsilah sultan-sultan Perlak dan Pasai.
Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa kerajaan Perlak
didirikan pada tanggal 1 Muhharam 225 H (840 M). Kesultanan
Perlak, pertama kali diperintah oleh Saiyid Abdul Aziz yang
bergelar Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Shah. Ia
berhasil mengangkat negerinya sebagai pancaran sinar Islam
di Nusantara. Sayang, Perlak tidak memiliki putra mahkota
karena sultan terakhir hanya memiliki seorang putri yang
kemudian menikah dengan sultan dari Samudera Pasai pada
tahun 1292. Sejak saat itu, Perlak menjadi bagian dari wilayah
kesultanan Samudera Pasai.
Keberadaan kesultanan Perlak juga dibuktikan dengan
ditemukannya peninggalan sejarah, seperti mata uang Perlak,
stempel kesultanan, dan makam raja-raja Benoa. Di samping
itu, disebutkan bahwa raja terakhir yang memerintah Perlak
adalah Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan
662-692 H (1263-1292 M).
Kesultanan Islam berikutnya yang muncul di Indonesia
adalah Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini berkembang
dengan pesat dan memiliki dua bandar perdagangan yang
ramai, yaitu Samudera dan Pasai. Pada awalnya, kesultanan
Samudera Pasai merupakan penggabungan dua kerajaan kecil,
yaitu kesultanan Samudera dan kesultanan Pasai. Seperti
halnya Perlak, kota bandar Samudera dan Pasai terletak di
pintu masuk Selat Malaka, yaitu jalur perdagangan utama
antara Arab, Persia, India, dan Cina. Oleh karena itu, sangat
mungkin kedua kota bandar itu telah mendapat pengaruh
Islam pada abad VIII.
Namun demikian, kesultanan Samudera Pasai baru bisa
didirikan pada abad XIII. Kesultanan Samudera Pasai terletak di
Aceh Utara, atau tepatnya di Kabupaten Loksumawe sekarang.
Mengingat letaknya yang strategis, kesultanan Samudera Pasai
dapat berkembang dengan pesat. Wilayah Samudera Pasai
semakin luas, terutama setelah kesultanan Perlak berhasil
disatukan melalui hubungan perkawinan.
Di antara para sultan yang memerintah Samudera Pasai,
Sultan Malik Al-Saleh merupakan sultan yang paling terkenal.
Sultan Malik Al-Saleh dikenal sebagai peletak dasar kekuasaan
Islam. Perdagangan sebagai pilar ekonomi kesultanan dan
rakyatnya hidup makmur.
Pada abad XIV, Samudera Pasai telah menjadi salah
satu tempat studi agama Islam. Banyak para ulama dari
berbagai negeri Islam yang datang ke Samudera Pasai untuk
mendiskusikan masalah-masalah keagamaan dan kehidupan
umat manusia sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Samudera Pasai
telah berhasil menyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah
sekitarnya, seperti Minangkabau, Jambi, Jawa, Malaka, dan
bahkan sampai ke Patani (Thailand).
Fatahilah adalah salah satu putra Samudera Pasai yang
sangat aktif dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Bahkan,
ia kemudian berhasil menduduki jabatan yang tinggi, yaitu
sebagai panglima kerajaan Demak. Sayang, Samudra Pasai
tidak dapat mempertahankan hegemoninya di Selat Malaka
setelah Kerjaaan Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511.
Samudera Pasai sendiri mulai diduduki oleh Portugis pada
tahun 1524.
Pada masa kejayaannya, Samudera Pasai pernah
dikunjungi oleh Marco Polo, seorang saudagar dati Venesia
(Italia) pada tahun 1292. Marco Polo sempat mengunjungi
beberapa daerah, di antaranya Perlak dan Samudera Pasai.
Di samping itu, Samudera Pasai juga pernah didatangi oleh
Ibn Battuta, seorang pengembara dari Taugier (Marroko) pada
tahun 1345.
Di samping Samudera Pasai, di ujung Utara Pulau
Sumatera terdapat kerajaan Islam yang lain, yaitu kerajaan
Aceh. Pusat kekuasaannya di Ramni dan kemudian dipindah
ke Darul Kamal. Kerajaan Aceh didirikan pada tahun 1204 di
bawah pemerintahan Sultan Jihan Syah. Pada waktu itu Aceh
belum berdaulat karena merupakan kecil yang berada di bawah
pengaruh Pedir. Akhirnya, Aceh berhasil melepaskan diri dari
kekuasaan Pedir dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.
Pada waktu itu, Aceh diperintah oleh Sultan Muhayat Syah
(1514-1528). Pusat kerajaan dipindah ke Kutaraja.
Di bawah pemerintahan Sultan Muhayat Syah, Aceh
mengalami perkembangan yang pesat. Beberapa kerajaan
kecil di sekitarnya disatukan sehingga wilayah kekuasaannya
semakin luas. Kerajaan-kerajaan kecil yang disatukan, di
antaranya Samudera Pasai, Perlak, Lamuri, Benoa Temiang,
dan Indera Jaya. Bahkan, kerajaan Pedir yang pernah
menguasai pun dapat ditahlukan, meskipun Pedir bersekutu
dengan bangsa Portugis. Di samping itu, Aceh sangat berambisi
untuk memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke pantai
Timur Sumatera.
Usaha Aceh untuk menguasai pantai Timur Sumatera
tidak mudah karena wilayahnya sangat luas dan mendapat
perlawanan dari kerajaan Aru. Dalam sebuah peperangan,
kerajaan Aru berhasil dikalahkan. Untuk mengontrol daerah
yang baru, Sultan Aceh mengirimkan seorang panglima
perang, yaitu Gocah Pahlawan. Kemudian, Gocah Pahlawan
dikenal sebagai orang yang menurunkan sultan-sultan Deli
dan Serdang (Sumatera Utara)
Setelah Sultan Muhayat Syah wafat, ia digantikan oleh
puteranya yang bernama Sultan Salahuddin (1528-1537).
Pemerintahan Salahuddin amat lemah dan selalu memberi
peluang kepada bangsa Portugis untuk menjalin kerja sama.
Akhirnya, Salahuddin dijatuhkan oleh saudaranya, yaitu Raja
Ali. Kemudian Raja Ali naik tahta dengan gelar Sultan Alauddin
Riayat Syah (1537-1468). Pada masa pemerintahannya, Aceh
pernah menyerang Johor yang bersekutu dengan Portugis.
Meskipun, raja Johor berhasil ditawan, tetapi Johor tetap
menjadi kerajaan yang merdeka. Sementara untuk memperkuat
kedudukannya, Aceh menjalin kerja sama dengan Turki, Persia,
India, dan kerajaan-kerajaan Islam di pulau Jawa.
Aceh mencapai jaman keemasan di bawah pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607-1936). Ia adalah orang yang cakap
dan pemeluk Islam yang taat. Pada masa pemerintahannya,
wilayah Aceh semakin luas, yaitu membentang di pesisir Barat
Sumatera sampai Bengkulu dan di pesisir Timur Sumatera
sampai Siak. Bahkan, beberapa daerah di Semenanjung
Malaya, seperti Johor, Kedah, Pahang, dan Patani (Thailand)
berhasil dikuasai.
Iskandar Muda bersikap anti penjajah.Ia bercita-cita dapat
mengusir Portugis dari Malaka. Oleh sebab itu Iskandar Muda
beberapa kali menyerang Portugis di Malaka. Contoh, tahun
1629, ia melakukan serangan besar-besaran berhasil. Portugis
pun juga menyerang dan berusaha menguasai Aceh, namun
selalu dapat dipukul mundur oleh tentara Aceh.
Pada masa kekuasaan Iskandar Muda disusun suatu
Undang-undang tentang tata Pemerintahan. Undang-undang
itu disebut Adat Mahkota Alam. Dalam bidang ekonomi,
Iskandar Muda mengembangkan tanaman lada yang sangat
dibutuhkan oleh orang-orang Eropa dan Asia. Pengembangan
sastra mendapat perhatian sehingga muncul ahli-ahli sastra
seperti Nuruddin Ar-Raniri dan Hamzah Fansuri.
Tahun 1636, Sultan Iskandar Muda wafat dan digantikan
Sultan Iskandar Thani (1636-1641). Pada saat itu, Aceh masih
dapat mempertahankan kekuasaannya. Namun, setalah
Iskandar Thani wafat yang bersamaan waktunya dengan
jatuhnya Malaka ke tangan orang-orang Belanda, Aceh mulai
mengalami kemuduran.

2.     Kesultanan Demak, Pajang, dan Mataram

Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1500.
Sebenarnya, Raden Patah masih keturunan langsung dari
Brawijaya, raja Majapahit. Sebagai sultan pertama Demak,
Raden Patah bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Berdirinya
kerajaan Demak mendapat dukungan dari ulama dan pembesar
di pantai Utara Jawa, seperti Tuban, Gresik, Jepara, Kudus, dan
lain-lainnya.
Peranan kerajaan Demak sebagai pusat penyebaran agama
Islam dan perdagangan di pulau semakin besar, terutama
setelah jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis pada
tahun 1511. Pada pedagang muslim yang biasanya melalui
Selat Malaka, kemudian memindahkan jalur perdagangannya
dengan menelusuri pantai Barat Sumatera, Selat Sunda, dan
sampailah di pantai Utara Jawa. Dengan demikian, jatuhnya
Malaka ke tangan bangsa Portugis merupakan sebuah
keuntungan bagi Demak.
Pada tahun 1513, armada Demak di bawah pimpinan
putera Raden Patah, yaitu Pati Unus melancarkan serangan
terhadap kedudukan Portugis di Malaka. Sayang, serangan
itu mengalami kegagalan karena letak Malaka yang jauh dan
persenjataan pasukan Demak yang sangat kurang. Meskipun
mengalami kegagalan, Pati Unus tetap mendapat pengahargaan
sebagai Pangeran Sabrang Lor.
Pada tahun 1518, Raden Patah meninggal dunia dan
kedudukannya digantikan oleh puteranya, yaitu Pati
Unus. Namun, Pati Unus tidak lama memerintah Demak.
Ia hanya memerintah selama tiga tahun (1518-1521). Pati
Unus tidak memiliki anak dan karena itu, ia digantikan oleh
adiknya, yaituSultan Trenggono (1521-1546). Pada masa
pemerintahannya, Demak mengalami masa kejayaan. Wilayah
Demak pun bertambah luas sampai ke ujung barat pulau Jawa,
Palembang dan Jambi, serta sebagian Kalimantan.
Sultan Trenggono memilih strategi bertahan dalam
menghadapi ancaman Portugis. Ketika, Portugis merencanakan
untuk mendirikan ’benteng’ dan ’kantor dagang’ di Sunda
Kelapa, maka dengan cepat Demak mengirimkan tentaranya ke
Sunda Kelapa pada tahun 1522. Pasukan Demak yang dipimpin
oleh Fatahilah berhasil mengalahkan dan mengusir Portugis
dari Sunda Kelapa pada 1527.
Sepeninggal Sultan Trenggono terjadi pertikaian di antara
kerabat kerajaan, terutama Pangeran Sekar Seda ing Lepen
(adik Sultan Trenggono) dan Pangeran Prawoto (putera
Sultan Trenggono). Pangeran Sekar Seda ing Lepen terbunuh
atas perintah Pangeran Prawoto. Pangeran Sekar Seda ing
Lepen sendiri telah ditetapkan sebagai pengganti Sultan
Trenggono.
Sementara, Arya Penangsang (putera Pangeran Sekar
Seda ing Lepen) yang menganggap diri sebagai orang yang
paling berhak atas tahta Demak, kemudian membunuh
Pangeran Prawoto beserta seluruh keluarganya. Sebenarnya,
apa yang dilakukan Arya Penangsang merupakan tindakan
balas dendam. Akhirnya, Arya Penangsang menjadi Sultan
Demak (1546-1568). Masa pemerintahan Arya Penangsang
ditandai dengan berbagai kekacauan dan pembunuhan.
Banyak orang yang tidak senang terhadap Arya Penangsang
karena kekejamannya.
Pangeran Hadiri, seorang adipati di Jepara dibunuhnya
karena dianggap merintangi kekuasaannya. Tindakan itu
menimbulkan kemarahan Ratu Kali Nyamat (isteri Pangeran
Hadiri), dan segera mengangkat senjata untuk membalas
kematian suaminya. Para adipati yang sepaham diajak bersatu
untuk menghancurkan kekuasaan Arya Penangsang. Di antara
para adipati yang tidak senang terhadap Arya Penangsang
adalah Adiwijaya, seorang adipati di Pajang yang lebih dikenal
dengan sebutan Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Ia berhasil
membunuh Arya Penangsang pada tahun 1568 sehingga
kekuasaan Demak berpindah ke tangannya dan mendirikan
kerajaan Pajang.
Pendiri Kerajaan Pajang adalah Adiwijaya (1568-1582).
Ia menduduki tahta Pajang dengan memindahkan kebesaran
kerajaan Demak ke Pajang. Sedangkan, Demak sendiri hanya
dijadikan salah satu kadipaten. Ia mengangkat Arya Pangiri
(putera Pangeran Prawoto) sebagai Adipati Demak. Sebagai
penguasa Pajang, Adiwijaya mendapat pengakuan dari Sunan
Giri dan para adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah menjadi sultan, Adiwijaya (Hadiwijaya) tidak
pernah lupa terhadap jasa-jasa para sahabatnya yang ikut
membantu mengalahkan Arya Penangsang. Ki Ageng
Pemanahan menerima hadiah tanah di daerah Mataram (Alas
Mentaok). Ki Penjawi diberi hadiah di daerah Pati. Keduanya
sekaligus diangkat sebagai Bupati di daerah masing-masing.
Bupati Surabaya yang banyak berjasa menundukan daerahdaerah
Jawa Timur, diangkat sebagai wakil raja dengan daerah
kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Panarukan.
Sedangkan Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan)
diangkat sebagai anak angkat Sultan Adiwijaya dan menjadi
saudar Pangeran Benawa. Pangeran Benawa adalah putera
mahkota Kesultanan Pajang. Sutawijaya adalah seorang
pemuda yang sangat ahli dan cakap dalam bidang militer
dan peperangan. Ketika Ki Ageng Pemanahan meninggal
dunia pada tahun 1575, Sutawijaya diangkat sebagai Adipati
Mataram.
Ketika Sultan Adiwijaya wafat pada tahun 1582, seharusnya
digantikan oleh Pangeran Benawa. Namun, ia berhasil
disingkirkan oleh Arya Pangiri. Arya Pangiri pun naik tahta
menjadi Sultan Pajang pada 1582-1586. Sedangkan Pangeran
Benawa hanya dijadikan adipati di Jipang. Ketika menjadi
sultan, tindakan Arya Pangiri sangat meresahkan masyarakat
karena menyita sepertiga sawah rakyat untuk diberikan kepada
para pengikutnya dari Demak.
Tindakan Arya Pangiri tersebut menyebabkan timbulnya
usaha-usaha perlawanan. Kesempatan itu dimanfaatkan
oleh Pangeran Benawa untuk menghimpun kekuatan. Ia
segera menjalin kerja sama dengan saudara angkatnya, yaitu
Sutawiajaya yang telah menjadi Adipati Mataram. Dalam
sebuah serangan, Arya Pangiri dengan mudah dapat dikalahkan
oleh Pangeran Benawa yang dibantu Sutawijaya pada tahun
1586. Namun, Pangeran Benawa tidak mau membunuh Arya
Pangiri dan hanya menyuruh Arya Pangiri untuk kembali ke
Demak.
Setelah berhasil mengalahkan Arya Pangiri, Pangeran
Benawa yang lebih berhak atas tahta Pajang justru
menyerahkan kekuasaannya kepada Sutawijaya. Pangeran
Benawa menyadari bahwa dirinya tidak cukup cakap untuk
mengendalikan pemerintahan, menjamin keamanan, dan
memper-tahankan kekuasaan Panjang yang sangat luas. Di
samping itu, Pangeran Benawa merasa tidak mampu bersaing
dengan saudara angkatnya. Sutawijaya pun menerima tawaran
saudara angkatnya dan sejak saat itu segala kebesaran Pajang
dipindahkan ke Mataram.
Sutawijaya telah lama berharap agar pada suatu saat dapat
menjadi seorang sultan. Oleh karena itu, ketika diangkat sebagai
Adipati Mataram pada tahun 1575, ia mulai memperskuat
kedudukannya dengan membangun benteng di sekeliling
istananya. Akhirnya, harapan itu datang, ketika Pangeran
Benawa menawarkan atau menyerahkan kekuasaannya kepada
Sutawijaya, setelah berhasil mengalahkan Arya Pangiri pada
tahun 1586. Tentu, Sutawijaya tidak menolaknya.
Sejak saat itu, Sutawijaya secara sah menjadi Sultan Pajang.
Namun, tidak lama kemudian ia memindahkan ibukota
kerajaan ke Kotagede yang terletak di sebelah Tenggara Kota
Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, nama kerajaan pun berubah
menjadi Mataram. Sutawijaya menjadi Sultan Mataram (1586-
1601) dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin
Panatagama Kalifatullah. Artinya, sultan yang sekaligus
sebagai panglima perang dan pemimpin agama.
Masa pemerintahan Panembahan Senopati diwarnai
dengan berbagai masalah dan peperangan yang terus menerus.
Masalah tersebut terjadi antara Sutawijaya dan para adipati
yang tidak bersedia mengakui kekuasaan Sutawijaya sebagai
sultan. Mengapa sebagian adipati tidak mau mengakui
Sutawijaya sebagai sultan?
Surabaya, Demak, Ponorogo, Madiun, Kediri, dan
Pasuruan tidak mau mengakui kekuasaan Sutawijaya
dan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Akibatnya,
terjadilah pertempuran antara Mataram dan para adipati
di Jawa. Pertempuran paling sengit terjadi antara Mataram
dan Surabaya pada tahun 1586. Akhirnya, pertempuran itu
dapat dihentikan berkat bantuan Sunan Giri. Mataram gagal
menahlukan Surabaya, meskipun Surabaya harus mengakui
kekuasaan Sutawijaya. Sementara, Demak, Ponorogo, Madiun,
Kediri, dan Pasuruan berhasil ditakhlukan sehingga wilayah
Mataram masih cukup luas. Bahkan, Cirebon dan Galuh
berhasil dikuasai pada tahun 1595.
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 dan
digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang (1601-1613).
Ia bergelar Sultan Anyakrawati. Pada masa pemerintahannya
timbul pemberontakan dari Pangeran Puger di Demak pada
tahun 1602-1605 dan Pengeran Jayaraga di Pononrogo pada
tahun 1608. Kedua pemberontakan itu dapat dipadamkan.
Namun, pemberontakan di Surabaya pada tahun 1612 belum
dapat dipadamkan sampai ia meninggal pada tahun 1613.
Sultan Anyakrawati wafat dalam pertempuran di daerah
Krapyak sehingga lebih dikenal dengan sebutan Panembahan
Seda Krapyak.
Pengganti Mas Jolang adalah Mas Rangsang yang bergelar
Sultan Agung Senopati ing Ngalaga Ngabdur Rachman
(1613–1645). Ia lahir tahun 1591, artinya ia menjadi sultan
pada usia 22 tahun. Sultan Agung segera melanjutkan citacita
leluhurnya, yaitu mewujudkan kekuasaan Mataram
yang meliputi seluruh pulau Jawa. Sejak tahun 1614, Sultan
Agung mulai menahlukan daerah-daerah di pesisir Utara
Jawa. Bala tentara Mataram berhasil menguasai Lumajang,
Pasuruan, Kediri, Tuban, Pajang, Lasem, Surabaya, Madura,
dan Sukadana (Kalimantan). Sedangkan Cirebon dan Banten
belum dapat dikuasai secara penuh. Namun karena Cirebon
dan Banten adalah bekas wilayah Demak, maka Sultan Agung
sebagai penerus Kerajaan Demak merasa berhak atas kedua
wilayah itu. Dengan demikian, tinggal Batavia (Sunda Kelapa)
yang belum ditakhlukan.
Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung menyerang
Batavia. Namun, mengalami kegagalan karena bala tentaranya
kekurangan makanan sebagai akibat persediaan makanan yang
telah disediakan dibakar oleh orang-orang Belanda. Setelah itu,
Sultan Agung mengalihkan perhatiannya untuk memajukan
kehidupan rakyatnya. Bidang pertanian mengalami kemajuan.
Pada tahun 1633, Sultan Agung menciptakan tarikh Jawa-Islam
berdasarkan perhitungan bulan yang dimulai pada 1 Muharam
1043 H. Ia juga berhasil menyusun karya Sastra Gending yang
berisi ajaran filsafat mengenai ’kesucian jiwa’. Di samping itu, ia
berhasil menyusun buku undang-undang pidana dan perdata
yang diberi nama Surya Alam.
Dalam bidang sistem susunan pemerintahan, Mataram di
bagi dalam :
��Kutanegara, yang merupakan daerah pusat keraton.
Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih
Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana dalam).
��Negara Agung, yang merupakan daerah yang ada di sekitar
Kutanegara. Dalam pelaksanaan pemerintahan di pegang Patih
Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
��Mancanegara, yaitu daerah di luar negara Agung. Daerah ini
dipimpin oleh para Bupati.
��Pesisir, daerah yang dipimpin oleh para Bupati atau Syah
Bandar.
Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan dikenang sebagai
raja yang terbesar karena dapat membawa Mataram mencapai
jaman keemasan.

3.     Kesultanan Cirebon dan Banten

Cirebon bersal dari kata caruban yang berarti campuran.
Masyarakat Cirebon diperkirakan merupakan campuran dari
para pedagang setempat dengan para pedagang Cina yang
telah memeluk Islam. Menurut buku Sejarah Banten, satu
rombongan keluarga Cina telah mendarat dan menetap di
Gresik. Kemudian mereka memeluk agama Islam. Satu di antara
mereka bernama Cu-cu dan lebih dikenal dengan sebutan Arya
Sumangsang atau Prabu Anom. Keluarga Cucu dapat mencapai
kedudukan dan kehormatan tinggal di Kesultanan Demak dan
mendapat kepercayaan untuk mendirikan perkampungan di
daerah Barat. Atas ketekunannya, mereka berhasil membangun
perkampungan yang disebut Cirebon.
Kapan dan siapa pendiri Kesultanan Cirebon? Sampai
saat ini belum ada jawaban yang pasti. Berdasarkan Ceritera
Caruban (Tjarita Tjaruban), Kesultanan Cirebon didirikan
oleh Syarif Hidayatullah, salah seorang cucu Raja Pakuan
Pajajaran. Ia naik tahta pada tahun 1482, sekembalinya dari
Mekkah. Sebagai seorang cucu raja, ia diberi hak untuk
mengembangkan kekuasaan di Cirebon. Selain sebagai Sultan
Cirebon, Syarif Hidayatullah juga dikenal sebagai seorang wali.
Ia mendapat persetujuan dari para, terutama Sunan Ampel
untuk menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat. Oleh
karena itu, Syarif Hidayatullah kemudian lebih dikenal dengan
nama Sunan Gunung Jati.
Cirebon pun berkembang dengan pesat sebagai pusat
perdagangan dan penyebaran agama Islam. Akibatnya, Pakuan
Pajajaran mulai surut. Namun, di antara dua kerajaan itu
tidak pernah terjadi peperangan karena masih ada hubungan
kekerabatan. Syarif Hidayatullah wafat di Cirebon dan
dimakamkan di bukit Gunung Sembung, tidak jauh dari
bukit Gunung Jati. Untuk meneruskan pemerin-tahannya
di Cirebon, Syarif Hidayatullah mengangkat putranya yang
bernama Pangeran Pasarean. Sultan inilah yang menurunkan
raja-raja Cirebon selanjutnya.
Tahun 1679 Cirebon terpaksa dibagi dua yaitu Kasepuhan
dan Kanoman. Waktu itu VOC sudah bercokol kuat di Batavia.
Dengan politik De Vide at Impera, Kesultanan Kanoman di bagi
dua, yakni Kasultanan Kanoman dan Kacirebonan. Dengan
demikian kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3 (tiga), yakni
Kasepuan, Kanoman, dan Kacirebonan. Akhir abad ke-17
Cirebon berhasil dikuasai VOC.

4.     Kesultanan Banten

Dasar-dasar pembentukkan Kesultanan Banten telah
dirintis oleh Nurullah pada tahun 1525 atas persetujuan
Sultan Demak. Nurullah adalah seorang muslim yang saleh
dan cakap dalam bidang politik sehingga diharpkan dapat
membendung pengaruh Portugis. Pada tahun 1522, Portugis
telah menandatangi persetujuan dengan Pakuan Pajajaran
untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Namun sebelum
maksud Portugis dilaksanakan, Nurullah telah merebut Sunda
Kelapa dari Pajajaran pada tahun 1527. Atas kemenangannya
itu, Nurullah diberi gelar Fatahillah (Kemenangan Allah) oleh
Sultan Trenggon. Di samping itu, nama Sunda Kelapa diganti
dengan Jayakarta.
Kelapa, maka kedatangan mereka disambut gempuran oleh
laskar Banten. Portugis terdesak dan akhirnya menyingkir dari
Sunda Kelapa. Akhirnya, Banten diserahkan kepada puteranya
yang kedua, yaitu Hasanuddin pada tahun 1552. Sejak saat
itu, Banten melepaskan diri dari Demak dan berdiri sebagai
kerajaan yang merdeka. Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin
(1552-1570) dianggap sebagai sultan Banten yang pertama.
Pada tahun 1570, Sultan Hasanuddin wafat dan digantikan
puteranya yang bernama Pangeran Yusuf (1570-1580). Pada
tahun 1579, Pangeran Yusuf menyerang Pajajaran dan sejak
saat itu berakhirlah riwayat kerajaan Hindu di Jawa Barat.
Sedangkan Pangeran
Yusuf digantikan oleh
Maulana Yusuf. Maulana
Yusuf meninggal pada
tahun 1595, ketika
memimpin ekspedisi ke
Palembang. Banten pun
mulai surut karena kalah
bersaing dengan VOC
yang berkuasa di Batavia
(dulu Sunda Kelapa atau
Jayakarta).

http://handikap60.blogspot.com/2013/01/kerajaan-kerajaan-islam-di-indonesia_9793.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar